Selasa, 08 Juli 2014

PUASAkaH PUASA KiTa?

Jam menunjukkan pukul 21.09 WIB. Saat itu, dalam keremangan lampu bervoltase rendah di langgar (atau surau) kecil yang akrab dengan sebutan Langghâr Kopéng, lima penduduk Kampung Parémpegân, Desa Sukamajujalan, tampak duduk santai. Seperti biasa seusai tadarusan, sebagaimana malam-malam sebelumnya setiap bulan Ramadhan, mereka berkumpul dan berbincang ringan tentang banyak permasalahan keseharian (tentu dalam kacamata orang-orang sederhana seperti mereka), seraya -kalau beruntung- menikmati kopi hangat nikmat made in isteri sang shāhibu langgar, Pak Syaikhi.

“Eh, kalian tahu tidak?” tanya Pak Lopak, si tukang ojek dengan trayek antar desa dalam  kecamatan. “Tadi sore,” Pak Lopak melanjutkan setelah lebih dahulu menyeruput kopinya (nampaknya mereka memang sedang beruntung malam ini), “sekilas aku mendengar di radio ada pak kyai yang dawuh bahwa Ramadhan itu ternyata merupakan sebuah lembaga pendidikan. Ya syahrun tarbawiyyun, lah.”

“Betul sekali itu,” kata Pak Paémut, pejabat ‘departemen penerangan’ Masjid Kampung Parémpegân dengan job description menyalakan dan memadamkan lampu masjid. “Ramadhan adalah bulan pendidikan dan pelatihan untuk menempa kita, sehingga diharapkan kita tidak hanya berpuasa dengan benar di bulan Ramadhan, tapi bisa benar-benar ‘berpuasa’ di sebelas bulan yang lain. Misalnya, puasa mendidik kita untuk mengasah kesabaran. Coba bayangkan, di siang hari kita ‘ditekan’ untuk sabar tidak makan-minum; juga sabar untuk tidak menyalurkan hasrat biologis dengan pasangan sah kita.”

“Alangkah puasanya puasa kita!” Pak Syaikhi yang sejak tadi diam tiba-tiba nyeletuk.

“Maksud Pak Syaikhi?” tanya Kastah, mantan preman pasar kecamatan yang telah beralih profesi dengan mengelola warung nasi (atau ‘berbisnis kuliner’ menurut istilah Pak Paémut), seraya menjentikkan abu rokoknya.

 “Ya, Alangkah puasanya puasa kita” ulang Pak Syaikhi, “jika kita tidak hanya bisa sabar menahan mulut kita untuk tidak makan-minum dari beras, lauk-pauk dan air milik kita sendiri, yang dibeli dengan uang kita sendiri, tapi juga tahan untuk tidak mengangkangi beras orang lain, tidak menyelewengkan harta orang lain, dan tidak mengkorup hak milik orang lain; belum lagi jika kita juga mampu dan sabar mengekang diri dari ghibah, rasan-rasan, memfitnah, berbohong, memelintir pernyataan dan kenyataan, dan segala macam ‘penyakit’ mulut lainnya”

“Iya juga, ya....” kata Kastah.

“Ya, iya lah. Masak iya dong?!” sambung Sukalér bin Pak Sukalér, si bujang (nyaris lapuk) korban PHK, yang disambut mesam-mesem anggota forum yang lain.

Setelah menyulut rokok dan menghisapnya dengan nikmat, Pak Syaikhi melanjutkan:
“Alangkah puasanya puasa kita, jika kita tidak hanya sabar menahan hasrat badaniah pada isteri yang kita nikahi dengan sah, tapi juga mampu meredam segenap indera kita dari penyaluran syahwat secara liar. Betapa sebuah kenyataan paradoksal manakala syahwat kita –baik tua ataupun muda, bujang atau sudah menikah- semakin ‘nakal’ justeru di bulan suci ini...”

Sukalér mendadak tertegun.

Selama ini ia istiqāmah mengikuti tren yang marak tiap Ramadhan tiba; jalan-jalan pagi dan nyarè malem (Bahasa Madura yang berarti “nyari malam”; kegiatan sejenis “ngabuburit” dalam Bahasa Sunda) saat sore, baik dengan nongkrong saja di pertigaan sana atau bersepeda keliing kampung. Dan Sukalér seringkali mencari ‘bonus’ dari aktifitas-aktifitas tersebut; ia jalan-jalan pagi sambil mengamati yang jalan-jalan; ia nyarè malem sekaligus rè-sarèan alias celingukan. Hasilnya, belakangan ini -saat tarawih, saat tadarus, saat buka, saat sahur- benak Sukalér seringkali ‘hanya’ berisi seraut wajah gadis kampung sebelah yang dijumpainya setiap sore dalam acara nyarè malem itu. Iapun sibuk menyusun strategi paling jitu untuk, misalnya, memulai kenalan, lalu tukar nomor ha-pe, lalu pe-de-ka-te, lalu...

Lalu baru saja ia tertempelak dawuh-dawuh Pak Syaikhi, orang yang sangat ia segani. Sukalér malu abis. Sungguh ia merasa ditelanjangi. Nyaris ia tak bisa fokus untuk menyimak pètotor Pak Syaikhi selanjutnya:
  
“...Alangkah puasanya puasa kita, jika kita mampu sabar saat harus marah dan segera berlindung ke balik sugesti innī shāimun, tidak hanya ketika kita lapar makanan, tapi juga ketika ‘lapar-lapar’ yang lain.”

“‘Lapar-lapar’ yang lain?” Kastah bertanya bingung.

 “Lho, iya,” jawab Pak Syaikhi. “Lapar itu macam-macam. Sudah naluri manusia untuk merasa lapar akan harta dan kekayan, lapar akan kekuasaan dan jabatan, lapar akan pengaruh dan kehormatan. Ada yang sanggup ber’puasa’ dengan laparnya. Ia sadar dan tahu, kapan  boleh ‘makan’, bagaimana cara yang benar dan sah untuk ‘makan’, lalu ‘makanan’ mana yang layak dan seberapa porsi yang boleh dikonsumsi. Yang bikin error, kalo kita memaksa untuk mendapatkan jatah makan sebelum waktunya; atau nekad mengkonsumsi makanan yang bukan bagian kita; atau sesudah makan, kita masih mengincar jatah orang lain yang kelihatan lebih lezat. Dalam kondisi-kondisi persaingan seperti ini, biasanya kita lalu cenderung mengabaikan rambu-rambu agama, etika, dan moral. Nyaris apapun akan kita lakukan; mencaci-maki dan menjelek-jelekkan orang lain, character assasination, dermawan dan murah hati tapi untuk meraih simpati, menjilat ke atas, menyikut kiri kanan, dan menginjak ke bawah, semata agar kepentingan kita dan kelompok kita; semata untuk memuaskan ‘nafsu makan’ kita yang over dosis itu. Bisa-bisa tidak hanya makanannya yang kita serobot, orangnya pun kita lahap!”

“Iya, ya,” Pak Paémut menyambung. “Bahkan seringkali ruh innī shāimun menguap entah ke mana, baik ketika kita sukses atau gagal. Saat ‘makanan’ yang kita hajati ada dalam genggaman, kita mudah mengalami euforia. Yang ada dalam ‘program kerja’ kita seringkali hanya bagaimana kita dan kelompok kita bisa ‘kenyang’ dan bisa terus mempertahankan kenyang itu. Prioritas kita bukan pendapat tapi pendapatan. Sebaliknya, saat kepentingan yang kita perjuangkan kandas, kita marah semarah-marahnya, kita ribut, lalu kita sibuk mencari-cari (bahkan kalau perlu membuat-buat) kelemahan dan kesalahan rival kita!“

Terdengar suara Pak Syaikhi lirih: “Ah, sudah puasakah puasa kita selama ini?”

Tidak satupun dari anggota forum yang tahu jawabannya. Hanya di hati masing-masing terbersit sekelumit doa:

“Semoga...”